Revisi Kawasan Hutan Sumut Sangat Bersyarat Kepentingan Investor


Penyusunan rencana tata ruang wilayah propinsi sumatera utara menimbulkan banyak protes dari kalangan aktivis LSM dan Organisasi masyarakat adat. dalam proses pembahasan terutama menyangkut kawasan hutan di sumatera utara para aktivis ini mengungkapkan bahwa dengan tetap mempertahankan konsep pembangunan ruang khususnya kawasan hutan sama sekali tidak mengakomodir kepentingan rakyat terutama masyarakat adat , maka sebenarnya dapat disimpulkan bahwa pemerintah secara sistematis dan nyata-nyata ingin merampas hak-hak rakyat khususnya masyarakat adat yang telah hidup dengan sistem ruang yang berlangsung secara turun-temurun terutama ruang atas tanah dan hutan adat mereka.

Penunjukan kawasan hutan merupakan bagian/komponen dari penataan ruang yang diklasifikasikan berdasarkan fungsi utama kawasan yang terdiri dari kawasan lindung dan kawasan budidaya baik yang dilakukan berdasarkan wilayah administratif, kegiatan kawasan, maupun nilai strategis kawasan, berdasarkan ketentuan dalam UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.

Undang-undang tersebut merupakan terobosan produk hukum baru dalam hal pengaturan tata ruang wilayah dimana dicantumkan ketentuan sanksi pidana terhadap penyalahgunaan rencana tata ruang baik bagi penerima izin maupun bagi pemberi izin.

Oleh sebab itu sangat penting bagi pemerintah dan masyarakat (khususnya masyarakat adat mengingat kelompok ini kerap menjadi object dalam konflik kehutanan karena masalah alas hak terhadap wilayah adat yang mereka kuasai secara turun menurun) sedari awal mengindetifikasi hak kepemilikan dan fungsi ekologi suatu wilayah atau areal, guna menghindari konflik penataan ruang dikemudian hari.

Saat ini saja konflik kehutanan, khususnya terkait klaim penguasaan wilayah kerap terjadi akibat dampak dari penunjukan kawasan hutan di Sumatera Utara yang tidak partisipatif dan transparan, yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kehutanan No: SK.44/Menhut-II/2005 Tanggal 16/2/2005 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan Di Wilayah Provinsi Sumatera Utara, dimana terdapat Seluas ± 3.742.120 (tiga juta tujuh ratus empat puluh dua ribu seratus dua puluh) Hektar kawasan hutan yang terdiri dari kawasan hutan konservasi, lindung, dan produksi.

Bukan hanya konflik, bencana dan penurunan kualitas lingkungan hidup juga dampak dari pola penunjukan kawasan hutan itu karena peruntukannya yang tidak sesuai dengan kaidah ekologis. Termasuk juga sumbangsih terhadap pemanasan global akibat penurunan luasan hutan di Sumatera Utara.

Dengan demikian, usulan revisi kawasan hutan Sumut yang diajukan oleh Gubernur provinsi Sumut saat ini menjadi sangat strategis dikawal oleh kelompok masyarakat sipil guna menempatkan dan mendorong pengakuan kedaulatan wilayah adat serta pembangunan yang berbasis ekologi yang lestari dan berkelanjutan. Terlebih-lebih usulan revisi dan prosesnya sangat kental dengan konflik kepentingan. Misalnya perubahan luasan usulan revisi kawasan hutan yang dinamis, terus-menerus berubah, atau adanya indikasi lokasi yang diusulkan lebih memberikan keuntungan kepada pihak tertentu.

Permasalahan Usulan Revisi

Berdasarkan analisis peta usulan revisi yang diusulkan pemerintah provinsi, diduga bahwa usulan (khususnya usulan pelepasan kawasan hutan) itu lebih mengakomodir kepentingan investasi yang sebelumnya sudah berjalan seperti perkebunan, parawisata, jalan, dan properti. Dimana seharusnya kegiatan tersebut harus mendapat izin dari Departemen Kehutanan. Demikian juga usulan revisi status kawasan hutan lainnya, cenderung mendukung investor.

Beberapa hal yang menjadi substansi keberatan para aktivis lsm dan masyarakat adat di Sumut terhadap permasalahan dalam usulan revisi kawasan hutan Sumut adalah:

1.      Keberadaan Masyarakat Adat

Masyarakat adat yang sejak dahulu bermukim di sekitar kawasan hutan. Dengan ditetapkannya UU Pokok Kehutanan 1967, pemerintah menetapkan kawasan hutan negara seluas 143 juta hektar atau kurang lebih 70% dari seluruh luas daratan Republik Indonesia. Penetapan ini dilakukan secara sepihak dan tidak didasari pengakuan akan keberadaan wilayah-wilayah adat yang sudah ada sebelum negeri ini didirikan.

 2.      Usulan perubahan kawasan hutan menjadi kawasan non hutan seluas 612.425 Ha

Hal yang menjadi keberatan kami berdasarkan hasil analisa peta usulan revisi dan verifikasi lapangan dibeberapa wilayah (kabupaten Langkat, Labuhan Batu Utara, Serdang Bedagai, dan Toba Samosir), bahwa dilokasi yang diusulankan dikeluarkan dari kawasan hutan kebanyakan telah terdapat berbagai aktifitas diluar kegiatan kehutanan yakni perkebunan kelapa sawit, industri parawisata, dan industri lainnya. Hal ini dapat juga dikategorikan sebagai upaya pemutihan pidana kehutanan.

Sementara wilayah masyarakat adat yang ada di Sumatera Utara, sesuai dengan SK.44/2005 sebagian besar berada dalam kawasan hutan akan tetapi wilayah mereka tidak termasuk dalam usulan revisi. Padahal mereka hidup dan menetap diwilayahnya jauh sebelum Indonesia merdeka.

 3.      Penurunan status kawasan

Usulan perubahan penurunan status kawasan hutan ini sangat tidak mendasar dan bertentangan dengan kebijakan pemerintah yang berupaya melindungi hutan-hutan alam (primer) yang tersisa, juga sangat tidak peka terhadap ekologi. Sebab keberadaan kawasan-kawasan hutan yang diusulkan di revisi oleh pemerintah provinsi itu masih didominasi oleh tegakkan hutan yang rapat dan merupakan daerah penyanggah atau daerah resapan air. Seperti yang terdapat di kawasan hutan lindung di sepanjang Tele (antara kabupaten Samosir dan Humbang Hasundutan) dimana kawasan hutan ini merupakan penyanggah kawasan ekosistem Daerah Tangkapan Air Danau Toba.

Selain itu juga, beberapa kawasan hutan lindung yang statusnya diusulkan untuk diturunkan terdapat aktifitas perambahan hutan. Sehingga ini merupakan modus pemutihan pidana kehutanan dan sekaligus untuk melanggengkan aktifitas penebangan kayu dikawasan hutan tersebut.

4.      Tidak memperhatikan sebaran kawasan hutan

Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang dalam pasal 17 ayat (5), disebutkan bahwa dalam rangka pelestarian lingkungan, dalam rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas daerah aliran sungai. Hal ini sama sekali tidak tercermin khususnya diwilayah kabupaten-kabupaten yang berada disebelah pantai timur Sumatera Utara.

 5.      Hak Ekosob

Pengelolaan hutan adat terutama berkaitan dengan hak-hak kolektif kesatuan masyarakat hukum adat. Hak-hak kolektif tersebut secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 yaitu dalam Pasal 18 B dan Pasal 28 I ayat (3). Kedua pasal ini menegaskan bahwa adanya jaminan dari negara dengan menghormati, melindungi dan mengakui kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionilnya sebagai suatu identitas budaya mereka. Adanya penghormatan dan pengakuan negara atas hak-hak kolektif masyarakat hukum adat atas pengelolaan sumber daya hutan, sekaligus merupakan jaminan bagi anggota-anggota masyarakat hukum adat untuk menikmati hak-hak individualnya seperti yang diatur dalam Pasal 28 A (hak mempertahankan hidup dan kehidupan), 28 C (hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar) dan 28H (hak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat). Pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat (adat) dilihat dari perspektif hak asasi manusia, merupakan suatu upaya pemenuhan hak-hak masyarakat adat baik dalam tataran sosial, politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Oleh karena itu pengelolaan hutan adat oleh masyarakat hukum adat harus dikaitkan dengan konsepsi hak asasi manusia khususnya dikaitkan dengan hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (EKOSOB).

Selain daripada itu, proses revisi kawasan hutan ini cukup lama (berlangsung mulai dari tahun 2007) dan hanya tertahan ditingkat elit pejabat daerah. Masyarakat khususnya masyarakat adat tidak pernah tahu maupun disosialisasikan tentang perubahan-perubahan kawasan hutan diwilayah mereka. Bahkan masyarakat juga tidak pernah tahu bahwa diwilayah mereka masuk dalam kawasan hutan.

Karenanya kami mencermati bahwa, seolah-olah pemerintah daerah dan provinsi menutup mata terhadap konflik-konflik kehutanan yang terjadi ditingkat rakyat. Di Sumatera Utara, sudah banyak kasus-kasus klaim penguasaan hutan yang memicu konflik para pihak. Dan selalu rakyat menjadi korban, karena tergusur dari sumber ekonomi dan penghidupan mereka. (R-ANSHARI/GRP)

Tinggalkan komentar